A. Menganalisis Perkembangan dan Tantangan Awal
Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan titik akhir
perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Belanda yang telah ratusan tahun merasakan kekayaan Indonesia enggan mengakui
kemerdekaan Indonesia. Sekutu yang telah memenangkan Perang Dunia II merasa
memiliki hak atas nasib bangsa Indonesia. Belanda mencoba masuk kembali ke
Indonesia dan menancapkan kolonialisme dan imperialismenya. Sementara kondisi
sosial ekonomi Indonesia masih sangat memprihatinkan, perangkat-perangkat
kenegaraan juga baru dibentuk, Indonesia ibarat bayi baru lahir masih lemah,
tetapi merdeka adalah harga mati. Berbagai upaya bangsa asing untuk menguasai
kembali bangsa Indonesia ditentang dengan berbagai cara. Pertempuran heroik
dengan korban ribuan jiwa terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Tidak
terhitung dengan jelas berapa jumlah korban jiwa dari pertempuran
mempertahankan bangsa Indonesia tersebut, bahkan banyak pahlawan tidak dikenal
yang berguguran. Nah, bagaimana kondisi awal Indonesia merdeka dan bagaimana
proses perjuangan bangsa Indonesia berikutnya? Mari kita telusuri melalui
kajian di bawah ini!
1.
Kondisi
Awal Indonesia Merdeka
Secara politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum
begitu mapan.
Ketegangan, kekacauan, dan berbagai insiden masih terus terjadi. Hal ini tidak
lain karena masih ada kekuatan asing yang tidak rela kalau Indonesia merdeka.
Sebagai contoh rakyat Indonesia masih harus bentrok dengan sisasisa kekuatan
Jepang. Jepang beralasan bahwa ia diminta oleh Sekutu agar tetap
menjaga Indonesia dalam keadaan status
quo. Di samping menghadapi kekuatan
Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris atas nama
Sekutu, dan juga NICA (Belanda) yang berhasil datang kembali ke Indonesia
dengan membonceng Sekutu. Pemerintahan memang telah terbentuk, beberapa alat kelengkapan
negara juga sudah tersedia, tetapi
karena baru awal kemerdekaan tentu masih
banyak kekurangan. PPKI yang keanggotaannya sudah disempurnakan berhasil mengadakan sidang
untuk mengesahkan
UUD dan memilih Presiden-Wakil Presiden.
2. Kedatangan Sekutu dan Belanda
Tentu kamu masih ingat bagaimana Jepang menyerah kepada Sekutu.
Penyerahan
Jepang kepada Sekutu tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945
membuat
analogi bahwa Sekutu memiliki hak atas kekuasaan Jepang di
berbagai
wilayah, terutama wilayah yang sebelumnya merupakan jajahan
negara-negara
yang masuk dalam Sekutu. Belanda adalah salah satu negara yang berada di balik
kelompok Sekutu.
Bagaimana
dampak kedatangan Sekutu ke Indonesia? Sekutu masuk ke Indonesia melalui
beberapa pintu wilayah Indonesia terutama daerah yang merupakan pusat
pemerintahan pendudukan Jepang seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Setelah
PD II, terjadi perundingan Belanda dengan Inggris di London yang menghasilkan Civil Affairs Agreement. Isinya
tentang pengaturan penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada
Belanda, khusus yang menyangkut daerah Sumatra, sebagai daerah yang berada di
bawah pengawasan SEAC (South East Asia Command). Di dalam
perundingan
itu dijelaskan langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut.
1. Fase pertama, tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer
untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban.
2. Fase kedua, setelah keadaan normal,
pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab koloni itu dari pihak
Inggris yang mewakili Sekutu.
Setelah diketahui Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus1945,
maka Belanda mendesak Inggris agar segera mensahkan hasil perundingan tersebut.
Pada tanggal 24 Agustus 1945, hasil perundingan tersebut disahkan.
Berdasarkan persetujuan Potsdam, isi Civil Affairs Agreement diperluas.
Inggris bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia termasuk daerah yang berada
di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas Command).
Setelah informasi dan persiapan dipandang cukup, maka Louis
Mountbatten membentuk pasukan komando khusus yang disebut AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Mereka tergabung di dalam pasukan tentara Inggris yang berkebangsaan India,
yang sering disebut sebagai tentara Gurkha. Tugas tentara AFNEI sebagai
berikut.
1. Menerima penyerahan kekuasaan tentara Jepang tanpa syarat.
2. Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu.
3. Melucuti dan mengumpulkan orang-orang
Jepang untuk dipulangkan ke negerinya.
4. Menegakkan dan mempertahankan keadaan
damai, menciptakan ketertiban, dan keamanan, untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan
sipil.
5. Mengumpulkan keterangan tentang
penjahat perang untuk kemudian diadili sesuai hukum yang berlaku.
Pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI mendarat di Jakarta
padatanggal 29 September 1945. Kekuatan pasukan AFNEI dibagi menjadi tigadivisi,
yaitu sebagai berikut.
1. Divisi India 23 di bawah pimpinan
Jenderal DC Hawthorn. Daerah tugasnya di Jawa bagian barat dan berpusat di
Jakarta.
2. Divisi India 5 di bawah komando
Jenderal EC Mansergh bertugas di Jawa bagian timur dan berpusat di Surabaya.
3. Divisi India 26 di bawah komando
Jenderal HM Chambers, bertugas di Sumatra, pusatnya ada di Medan.
3. Merdeka atau Mati!
Kedatangan Sekutu di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari
masyarakat Indonesia. Apalagi dengan memboncengnya Belanda yang ingin menguasai
kembali Indonesia. Hal ini mengakibatkan berbagai upaya penentangan dan
perlawanan dari masyarakat. Bagaimana peristiwa kekerasan akibat kedatangan
Sekutu di Indonesia terjadi? Mari kita simak kajian di bawah ini!
a. Perjuangan rakyat Semarang dalam melawan tentara Jepang
Berita proklamasi terus menyebar ke penjuru tanah air.
Pemindahan kekuasaan dari pendudukan Jepang ke Indonesia juga terus dilakukan.
Pada tanggal 19 Agustus 1945, sekitar pukul 13.00 WIB berkumandang lewat radio
tentang sebuah pernyataan dan perintah agar pemindahan kekuasaan dari tangan
Jepang ke pihak Indonesia terus dilakukan. Hal ini semakin membakar semangat
para pemuda Semarang dan sekitarnya untuk melakukan perebutan kekuasaan.
Suasana di Semarang semakin panas. Jepang tidak menghiraukan
seruan
pemerintahan
di Semarang. Pada tanggal 7 Oktober 1945, ribuan pemuda Semarang mengerumuni
tangsi tentara Jepang, Kedobutai di Jatingaleh. Ketegangan antara kedua belah
pihak terus berlanjut. Pada tanggal 14 Oktober 1945, sekitar 400 orang tawanan
Jepang dari pabrik gula Cepiring diangkut oleh para pemuda ke penjara Bulu,
Semarang. Dalam perjalanan, sebagian dari para tawanan berhasil melarikan diri
dan minta perlindungan kepada batalion Kedobutai. Pada tanggal 14 Oktober 1945,
pada petang harinya, petugas kepolisian Indonesia yang menjaga persediaan air
minum di Wungkal diserang oleh pasukan Jepang. Mereka dilucuti dan disiksa di
tangsi Kedobutai Jatingaleh. Kemudian, di jalan Peterongan terdengar kabar
bahwa air ledeng di Candi telah diracuni oleh Jepang.
Para pemuda berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di
kediamannya, di Magelang. Tokoh Jepang ini ditahan oleh para pemuda. Hal ini
semakin meningkatkan kemarahan Jepang. Pada hari kedua dan ketiga Jepang
berusaha dapat menguasai daerah Semarang kembali. Dalam pertempuran itu Jepang
membagi pasukannya menjadi tiga kekuatan sebagai berikut.
1. Poros Barat, sasarannya penduduk markas
Kempetai di
Karangasem yang telah dikuasai para pemuda. Selain itu, juga untuk menghambat
gerakan bantuan pasukan dari Pekalongan dan Kendal.
2. Poros Tengah, dengan sasaran menguasai markas AMRI di Hotel
Du Pavillon.
3. Poros Timur, dengan sasaran menduduki
Sekolah Teknik dan mencegah datangnya bantuan BKR dari Demak, Pati, dan
Rembang. Sementara itu, dari pihak Indonesia telah datang bantuan dari berbagai
penjuru, baik dari arah Barat (Kendal dan Weleri), juga dari Timur, seperti
dari Demak, Kudus, Pati, Purwodadi, bahkan dari Selatan seperti dari Solo,
Magelang, dan Yogyakarta.
b. Pengambilalihan kekuasaan Jepang di Yogyakarta
Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada
tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai instansi
pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi
pemogokan. Mereka memaksa orang-orang Jepang agar menyerahkan semua kantor
mereka kepada orang Indonesia. Pada tanggal 27 September 1945, KNI Daerah
Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah itu telah berada di tangan
Pemerintahan RI. Kepala Daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang (Cokan) harus meninggalkan kantornya di jalan
Malioboro. Tanggal 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan
kemudian dijadikan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal
dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung.
c. Ribuan Nyawa Arek Surabaya untuk Indonesia
Pada
tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadier Jenderal A.W.S.
Mallaby mendarat di Surabaya. Brigade ini adalah bagian dari Divisi India ke-23,
di bawah
pimpinan
Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas dari panglima Allied forces for
Netherlands East Indies (AFNEI)
untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu.
Kedatangan mereka diterima secara enggan oleh pemimpin pemerintah
Jawa
Timur, Gubernur Suryo. Setelah diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah
RI
dengan
Mallaby, maka dihasilkan kesepakatan:
1. Inggris berjanji bahwa di antara
tentara mereka tidak terdapat Angkatan Perang Belanda,
2. disetujui kerjasama antara kedua belah
pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman,
3. akan segera dibentuk “Kontak Biro” agar
kerjasama dapat terlaksana sebaik-baiknya, dan
4. Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ternyata pihak Inggris
mengingkari janjinya. Pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, peleton dari Field Security Section di
bawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka
akan membebaskan Kolonel Huiyer—seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda—beserta
kawan-kawannya. Tindakan Inggris dilanjutkan pada keesokan harinya dengan
menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio,
dan objek-objek
vital
lainnya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata yang
pertama antara pemuda Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu
meluas, sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945.
Dalam pertempuran itu, pasukan Sekutu dapat dipukul mundur, bahkan hampir dapat
dihancurkan oleh pasukan Indonesia. Beberapa objek vital yang telah dikuasai
oleh pihak Inggris berhasil direbut kembali oleh rakyat.
d.
Pertempuran Palagan Ambarawa
Pertempuran
Ambarawa terjadi pada tanggal 29 November dan berakhir pada 15 Desember 1945
antara pasukan TKR dan pemuda Indonesia melawan pasukan Inggris. Latar belakang
dari peristiwa ini dimulai dengan insiden yang terjadi di Magelang sesudah
mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal
20 Oktober 1945. Oleh pihak RI mereka diperkenankan untuk mengurus tawanan
perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Ternyata mereka diboncengi
oleh tentara Nederland Indische Civil
Administration (NICA) yang kemudian mempersenjatai bekas
tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 pecah insiden Magelang yang
berkembang menjadi pertempuran antara TKR dan tentara Sekutu. Insiden itu
berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno dan Brigadir Jenderal Bethell di
Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan
senjata dan tercapai katasepakat yang dituangkan ke dalam 12 pasal,
diantaranya:
1. Pihak Sekutu tetap menempatkan
pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus
evakuasi Allied
Prisoners War and Interneers (APWI-tawanan perang dan interniran Sekutu).
2. Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas
Indonesia - Sekutu
3. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas
NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Ternyata pihak Sekutu ingkar janji. Pada tanggal 20 November 1945
di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor
Sumarto melawan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu
yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur.
Namun tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan
Sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar
Ambarawa. Pasukan TKR bersama pemuda dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro
bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel
kereta api dan membelah kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah Magelang
pasukan TKR dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melakukan
serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan tujuan memukul mundur
pasuka Sekutu yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam Adrongi berhasil
menduduki Desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya.
e.
Pertempuran Medan Area
Pada
tanggal 9 November 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal
T.E.D. Kelly mendarat di Sumatra Utara. Pendaratan pasukan Sekutu itu
diboncengi oleh pasukan NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih
pemerintahan. Pemerintahan RI Sumatera Utara memperkenankan mereka menempati
beberapa hotel di Medan, seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria dan
lainya, karena menghormati tugas mereka. Sebagian dari mereka ditempatkan di
Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat lainnya dengan memasang tenda-tenda
lapangan. Sehari setelah mendarat, Team dari RAPWI telah mendatangi kamp-kamp
tawanan di Pulu Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi
untuk membantu membebaskan para tawanan dan dikirim keMedan atas persetujuan
Gubernur M. Hasan. Ternyata kelompok itu langsung dibentuk menjadi Medan
Batalion KNIL. Dengan kekuatan itu, maka tampaklah perubahan sikap dari bekas
tawanan tersebut. Mereka bersikap congkak karena merasa sebagai pemenang atas
perang. Sikap ini memancing timbulnya pelbagai insiden yang dilakukan secara
spontan oleh para pemuda. Insiden pertama terjadi di Jalan Bali, Medan pada
tanggal 13 Oktober 1945. Insiden ini berawal dari ulah seorang penghuni hotel
yang merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai oleh salah
seorang yang ditemuinya. Akibatnya hotel tersebut diserang dan dirusak oleh
para pemuda.
f.
Bandung Lautan Api
Di Bandung pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk
merebut pangkalan udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW-sekarang
Pindad) dan berlangsung terus sampai kedatangan pasukan Sekutu di Bandung pada
17 Oktober 1945. Seperti halnya di kota-kota lain, di Bandung pun pasukan
Sekutu dan NICA melakukan teror terhadap rakyat, sehingga terjadi
pertempuran-pertempuran. Menjelang bulan November 1945, pasukan NICA semakin
merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan
kedatangan
pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Tetapi
semangat juang rakyat dan para pemuda yang tergabung dalam TKR, laskar-laskar
dan badan-badan perjuangan semakin berkobar. Pertempuran demi pertempuran
terjadi.
Pada
bulan Oktober di Bandung telah terbentuk Majelis Dewan Perjuangan yang dipimpin
panglima TKR, Aruji Kartawinata. Dewan perjuangan ini terdiri dari wakil-wakil
TKR dan berbagai kelaskaran. Pada tanggal 21 November 1945 Sekutu mengeluarkan
ultimatum agar para pejuang menyerahkansenjata dan mengosongkan Bandung Utara.
Ternyata ultimatum itu tidak diindahkan oleh pihak pejuang. Insiden terjadi,
para pemuda melakukan penyerobotan terhadap kendaraan-kendaraan Belanda yang
berlindung di bawah Sekutu. Penculikan juga sering terjadi.
g.
Berita Proklamasi di Sulawesi
Berita proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Moh.
Hatta, sampai pula di Sulawesi. Sam Ratulangi, yang saat itu menjabat sebagai
Gubernur Sulawesi, yang berkedudukan di Makasar mendapat tugas dari PPKI untuk
menyusun Komite Nasional Indonesia. sementara itu, para pemuda Sulawesi
memperbanyak teks proklamsi untuk disebarluaskan keseluruh pelosok penjuru.
Atas inisiatif Manai Shopian dkk, dibuat plakat proklamasi di rumah A.
Burhanuddin dan di kantor pewarta Celebes, yang kemudian diganti nama dengan Soeara Indonesia.
Saat itu tentara Sekutu dengan cepat dapat menguasai Indonesia
bagian Timur, termasuk Sulawesi. Upaya Sam Ratulangi untuk menyampaikan berita
proklamasi ke penjuru Sulawesi mendapat halangan dari tentara Sekutu. Para
pemuda mulai mengorganisasi diri dan merencanakan untuk merebut gedung-gedung
vital. Pada tanggal 28 Oktober 1945, kelompok pemuda yang tediri dari bekas
Kaigun Heiho dan pelajar SMP, bergerak menuju sasarannya dan mendudukinya.
Akibat peristiwa itu pasukan Australia yang telah ada, bergerak dan melucuti
para pemuda. Sejak itu pusat gerakan pemuda dipindahkan dari Ujungpandang ke
Polombangkeng. Bahkan Sam Ratulangi kemudian ditangkap oleh NICA dan diasingkan
ke Serui, Papua.
Berita proklamasi di Sulawesi Tenggara diterima di Kolaka,
Kendari. Mulamulaberita diterima oleh kalangan Kaigun dan Heiho yang dibawa
oleh tentara Jepang. Saat itu yang bertugas memimpin Heiho adalah Idie Heiso
dan Sudamitsu Heiso. Sementara berita proklamasi baru diketahui oleh rakyat
Muna, saat Jepang menyerahkan pemerintahan Muna kepada Ode Ipa yang kemudian
meninggalkan Muna menuju Kendari. Di Buton berita proklamsi diterima rakyat
dari para pelayar yang tiba dari Jakarta dan Bangka serta dari orang-orang
Jepang yang datang ke Makasar. Mula-mula berita itu diterima di Kepulauan
Tukang Besi (Wakatobi). Di Sulawesi Tengah, berita proklamasi diterima pada
tanggal 17 Agustus pada pukul 15.00 waktu setempat. Berita itu diterima Abdul
Latief dari tentara Jepang yang dikawal dari dua tentara heiho dari Sulawesi
Selatan, yaitu Saleh Topetu dan Djafar. Perwira itu mengatakan “ Bangsa Indonesia
sudah merdeka”.
h.
Operasi Lintas Laut Banyuwangi – Bali
Operasi lintas Laut Banyuwangi-Bali merupakan operasi gabungan
dan pertempuran laut pertama sejak berdirinya negara Republik Indonesia.
peristiwa itu dimulai dengan kedatangan Belanda dengan membonceng Sekutu,
mendarat di Bali dengan jumlah pasukan yang cukup besar, tanggal 3 Maret 1946.
Hal ini dimaksudkan Bali sebagai batu loncatan untuk menyerbu Jawa Timur yang
dinilai sebagai lumbung pangan untuk kemudian
mengepung
pusat kekuasaan RI. Bali juga dapat dijadikan penghubung ke arah Australia.
Dengan
perkembangan di atas, maka telah mengalihkan konfrontasi dari Indonesia melawan
Jepang berganti menjadi Indonesia melawan Belanda. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka para pemimpin perjuangan yang sudah sampai di Jawa berusaha
mencari bantuan dan membentuk kesatuankesatuan tempur. Mereka antara lain telah
membentuk Pasukan Makardi atau Pasukan Merdeka sebagai pasukan induk. Pasukan
itu kemudian lebih dikenal dengan nama Pasukan M. Kapten Makardi sebelumnya
bertugas mendampingi Kolonel Prabowo, Kolonel Munadi dan Letkol I Gusti Ngurah
Rai ke markas besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan, karena makin
lemahnya kekuatan TRI Sunda Kecil di Bali.
B. Mengevaluasi Perjuangan Bangsa: Antara Perang
dan Damai
1.
Perjanjian
Linggarjati
Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil
oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari
pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Perjanjian itu melibatkan pihak Indonesia
dan Belanda, serta Inggris sebagai penengah. Tokoh-tokoh dalam perundingan itu
adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dari Inggris, seorang diplomat
senior serta mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang kemudian diangkat
sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia. Wakil dari Belanda adalah Dr.
H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan
Sjahrir. Sebelumnya perundingan Linggarjati sudah dilakukan beberapa kali
perundingan baik di Jakarta maupun di Belanda. namun usaha-usaha untuk mencapai
kesepakatan belum memenuhi harapan baik bagi pihak Indonesia maupun bagi pihak
Belanda. Usaha itu mengalami kegagalan karena masingmasing pihak mempunyai
pendapat yang berbeda.
Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden dan
konfrontasi dengan semakin banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia.
Konfrontasi itu menyebabkan pihak sekutu ingin segara mengakhiri tugasnya di
Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi kekerasan di kota besar di Indonesia,
terutama pertempuran sengit di Surabaya. Pihak sekutu ingin segera meninggalkan
Indonesia, tetap tidak mungkin melepaskan tanggungjawab internasionalnya. Untuk
itulah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.
a.
Perundingan Awal di Jakarta
Pada
tanggal I Oktober 1945, telah diadakan perundingan antara Christison (Inggris)
dengan pihak Republik Indonesia Dalam perundingan ini Christison mengakui
secara de facto terhadap
Republik Indonesia Hal ini pula yang memperlancar gerak masuk Sekutu ke wilayah
Indonesia. Kemudian, pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945
mengeluarkan maklumat politik. Isinya bahwa pernerintah RI menginginkan
pengakuan terhadap negara dan pernerintah RI, baik oleh Inggris maupun Belanda
sebagaimana yang dibuat sebelum PD II. Pemerintah RI juga berjanji akan
mengembalikan sernua milik asing atau memberi ganti rugi atas milik yang telah
dikuasai oleh pernerintah RI. Inggris yang ingin melepaskan diri dari kesulitan
pelaksanaan tugas-tugasnya di Indonesia, mendorong agar segera diadakan
perundingan antara Indonesia dan Belanda. Oleh karena itu, Inggris mengirim Sir
Archibald Clark Kerr. Di bawah pengawasan dan perantaraan Clark Kerr, pada
tanggaI 10 Februari 1946 diadakan perundingan Indonesia dengan Belanda di
Jakarta. Dalarn perundingan ini Van Mook selaku wakil dari Belanda mengajukan
usul-usul antara. lain sebagai berikut.
1. Indonesia akan dijadikan negara
persemakmuran berbentuk federasi, memiliki pemerintahan sendiri tetapi di
dalarn lingkungan Kerajaan Nederland (Belanda).
2. Masalah dalam negeri di urus oleh
Indonesia, sedangkan urusan luar negeri ditangani oleh pernerintah Belanda.
3. Sebelum dibentuk persemakmuran, akan
dibentuk pemerintahan peralihan selama sepuluh tahun.
4. Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.
Ternyata mayoritas suara anggota KNIP menentang kebijaksanaan
yang telah ditempuh oleh Syahrir. Oleh karena itu, Kabinet Syahrir jatuh.
Presiden Sukarno kemudian menunjuknya kembali sebagai Perdana Menteri. Kabinet
Syahrir II teribentuk pada tanggal 13 Maret 1946. Kabinet Syahrir II mengajukan
usul balasan dari usul-usul Van Mook. Usul-usul Kabinet Syahrir II antara lain
sebagai berikut :
1. RI harus diakui sebagai negara yang
berdaulat penuh atas wilayah Hindia
Belanda.
2. Federasi Indonesia Belanda akan
dilaksanakan dalam masa tertentu. Mengenai urusan luar negeri dan pertahanan
diserahkan kepada suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas orang-orang
Indonesiadan Belanda.
3. Tentara Belanda segera ditarik kembali dari republik.
4. Pemerintah Belanda harus-membantu
pemerintah Indonesia untuk menjadi anggota PBB.
5. Selama perundingan sedang terjadi,
semua aksi militer harus dihentikan.
b.
Perundingan Hooge Valuwe
Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe
bulan April 1946. Pokok pembicaraan dalam perundingan itu adalah memutus pembicaraan
yang dilakukan di Jakarta oleh Van Mook dan Syahrir. Sebagai penengah dalam
perundingan, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Pada kesempatan itu
Syahrir mengirim tiga orang delegasi dari Jakarta, yaitu Mr. W. Suwandi, dr.
Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo. Mereka berangkat bersama Kerr pada 4 April
1946. Dari Belanda hadir lima orang yaitu Van Mook, J.H. van Royen.
J.H.Logeman, Willem Drees, dan Dr. Schermerhorn. Perundingan tersebut untuk
menyelesaikan perundingan yang tidak tuntas saat di Jakarta.
Kegagalan perundingan Hooge Valuwe bagi kedua negara membawa
untuk dilakukan kembali perundingan selanjutnya. Bagi Indonesia perundingan
Hooge Valuwe memperkuat posisi Indonesia didepan Belanda. Perundingan itu juga
menjadikan masalah Indonesia menjadi perhatian dunia internasional. Perundingan
itu pula yang mengantarkan pada diplomasi internasional dalam Perjanjian
Linggarjati pada kemudian hari.
c.
Pelaksanaan Perundingan Linggarjati
Kegagalan dalam perundingan Hoge, pada April 1946, menjadikan
pemerintah Indonesia untuk beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia
berpendapat perlu melakukan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang
berada di Jawa dan Sumatera. Namun genjatan senjata yang dilakukan dengan
cara-cara lama dan gerilya tidak membawa perubahan yang berarti. Resiko yang
dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan banyaknya korban yang berjatuhan.
Untuk mencagah bertambahnya korban pada bulan Agustus hingga September 1946
direncanakan untuk menyusun konsep perang secara defensif. Bagi Sukarno, Hatta,
dan Syahrir perlawan dengan strategi perang defentif itu lebih beresiko
dibandingkan dengan cara-cara lama, karena akan memakan korban lebih banyak
lagi. Menurut mereka pengakuan kedaulatan Republik Indonesia lebih baik
dilakukan dengan jalan diplomasi.
Dalam perundingan itu dihasilkan kesepakatan yang terdiri dari
17 pasal. Isi pokok Perundingan Linggarjati antara lain sebagai berikut :
1. Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan
secara de facto pemerintahan
RI atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera. Daerahdaerah yang diduduki Sekutu atau Belanda secara
berangsur-angsur akan
dikembalikan kepada RI.
2. Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat
(NIS) yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara
berdaulat.
3. Pemerintah Belanda dan RI akan
membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh raja Belanda.
4. Pembentukan NIS dan Uni Indonesia-
Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949.
5. Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi
hak milik asing.
6. Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk
mengadakan pengurangan jumlah tentara.
7. Bila terjadi perselisihan dalam
melaksanakan perundingan ini, akan menyerahkan masalahnya kepada Komisi
Arbitrase.
d.
Konferensi Malino
Dalam situasi politik yang tidak menentu di Indonesia, Belanda
melakukan tekan politik dan militer di Indonesia. Tekanan politik dilakukan
dengan menyelenggarakan Konferensi Malino, yang bertujuan untuk membentuk
negara-negara federal di daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan
Australia kepada Belanda. Disamping itu, di Pangkal Pinang, Bangka
diselenggarakan konferensi untuk golongan minoritas. Konferensi Malino
diselenggarakan pada 15-26 juli 1946, sedangkan Konferensi Pangkal Pinang pada
1 Oktober 1946. Diharapkan daerah-daerah ini akan mendukung Belanda dalam
pembentukan negara federasi. Di samping itu, Belanda juga terus mengirim
pasukannya memasuki Indonesia. Dengan demikian kadar permusuhan antara kedua
belah pihak semakin meningkat. Namun usahausaha diplomasi terus dilakukan.
Sebagai contoh tanggal 14 Oktober 1946 tercapai persetujuan gencatan senjata.
Usaha-usaha perundingan pun terus diupayakan.
Rapat itu diberi nama Bijeenkomst
voor federal Overleg (BFO), yaitu suatu pertemuan untuk
Musyawarah Federal. Pengambil inisiatif BFO itu adalah Ida Agung Gde Agung,
seorang perdana menteri Negara Indonesia Timur. juga R.T. Adil Puradiredja,
seorang perdana menteri Negara Pasunan. BFO itu dimaksudkan untuk mencari
solusi dari situasi politik yang genting akibat dari perkembangan politik
antara Belanda dan RI yang juga berpengaruh pada perkembangan negara-negara
bagian. Pertemuan Bandung juga dirancang untuk menjadikan pemerintahan
peralihan yang lebih baik daripada pemerintahan Federal Sementara buatan Van
Mook. (kamu dapat membaca lebih lanjut tentang peran BFO dalam perjuangan
diplomasi pada buku Taufik Abdullah dan A.B.Lapian (ed) atau buku-buku yang
lain).
2. Agresi Militer Belanda I
Di tengah-tengah upaya mencari kesepakatan dalam pelaksanaan
isi Persetujuan Linggarjati, ternyata Belanda terus melakukan tindakan yang
justru bertentangan dengan isi Persetujuan Linggarjati. Di samping mensponsori
pembentukan pemerintahan boneka, Belanda juga terus memasukkan kekuatan
tentaranya. Belanda pada tanggal 27 Mei 1947 mengirim nota ultimatum yang
isinya antara lain sebagai berikut.
a. Pembentukan Pemerintahan Federal
Sementara (Pemerintahan Darurat) secara bersama.
b. Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri.
c. Dewan Urusan Luar Negeri, bertanggung
jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa.
d. Pembentukan Pasukan Keamanan dan
Ketertiban Bersama (gendarmerie),
Pembentukan Pasukan Gabungan ini termasuk juga di wilayah RI.
Pada tanggal 21 Juli 1947 tengah malam, pihak Belanda
melancarkan ‘aksi polisional’ mereka yang pertama. Pasukan-pasukan bergerak
dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk
menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil
mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian Belanda menguasai semua pelabuhan
di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan,
instalasi-instalasi minyak dan batu bara di sekitar Palembang dan Padang
diamankan. Pasukan-pasukan Republik bergerak mundur dalam kebingungan dan
menghancurkan apa saja yang dapat mereka hancurkan.
3. Komisi Tiga Negara sebagai mediator yang berharga
Masalah Indonesia-Belanda telah dibawa dalam sidang-sidang PBB.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah Indonesia telah menjadi perhatian
bangsabangsa dunia. Kekuatan Indonesia di forum internasionalpun semakin kuat
dengan kecakapan para diplomator Indonesia yang meyakinkan negara-negara lain
bahwa kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya dimiliki bangsa Indonesia. Tentu
saja bahwa kepercayaan bukan disebabkan oleh para diplomator saja. Perjuangan
rakyat Indonesia adalah bukti bahwa
kemerdekaan
merupakan kehendak seluruh rakyat Indonesia. PBB sebagai organisasi
internasional berperan aktif menyelesaikan konflik antara RI dengan Belanda.
Berikut ini beberapa peran PBB dalam penyelesaian konflik Indonesia Belanda.
4. Perjanjian Renville
Komisi Tiga Negara tiba di Indonesia pada tanggal 27 Oktober
1947 dan segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan
Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu
pihak. Oleh karena itu, Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan
di geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat. Indonesia dan Belanda kemudian
menerima tawaran Amerika Serikat.
Perundingan
Renville secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di kapal Renville
yang sudah berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Wijoyoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda. Dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya Indonesia menyetujui isi Perundingan Renville yang
terdiri dari tiga hal sebagai berikut.
a. Persetujuan tentang gencatan senjata
yang antara lain diterimanya garis demarkasi Van Mook (10 pasal).
b. Dasar-dasar politik Renville, yang
berisi tentang kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan
cara damai (12 pasal)
c. Enam pasal tambahan dari KTN yang
berisi, antara lain tentang kedaulatan Indonesia yang berada di tangan Belanda
selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan (6 pasal).
5. Agresi Militer II : Tekad Belanda Melenyapkan RI
Sebelum macetnya perundingan Renville sudah ada tanda-tanda
bahwa Belanda akan melanggar persetujuan Renville. Oleh karena itu pemerintah
RI dan TNI sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan malakukan
aksi militernya untuk menghancurkan RI dengan kekuatan senjata. Untuk
menghadapi kekuatan Belanda, maka dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD)
yang dipimpin oleh A.H. Nasution dan Hidayat.
Seperti yang telah diduga sebelumnya, pada tanggal 19 Desember
1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Sebelum pasukan Belanda begerak
lebih jauh, Van Langen (wakil jenderal Spoor) berbisik kepada Van Beek
(komandan lapangan agresi II): “overste tangkap Sukarno, Hatta, dan Sudirman,
mereka bertiga masih ada di istana”, demikian perintah pimpinan Belanda
terhadap ketiga pimpinan nasional kita. Agresi militer II itu telah menimbulkan
bencana militer maupun politik bagi mereka walaupun mereka tampak memperoleh
kemenangan dengan mudah. Dengan taktik perang kilat, Belanda melancarkan
serangan di semua front RI. Serangan diawali dengan penerjunan pasukan-pasukan
payung di Pangkalan Udara Maguwo dan dengan cepat berhasil menduduki ibu kota
Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta memutuskan untuk tetap
tinggal di ibukota, meskipun mereka tahu akan ditawan musuh. Alasannya, agar
mereka dengan mudah ditemui oleh TNI, sehingga kegiatan diplomasi dapat
berjalan terus. Disamping itu, Belanda tidak mungkin melancarkan serangan
secara terusmenerus, karena Presiden dan wakil Presiden sudah ada di tangan
musuh.
6. Peranan PDRI sebagai Penjaga Eksistensi RI
Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, Presiden Sukarno
telah membuat mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di
Bukittinggi untuk membentuk pemerintah darurat. Sukarno mengirimkan mandat
serupa kepada Mr. Maramis dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di New Delhi,
India apabila pembentukan PDRI di Sumatra mengalami kegagalan. Namun,
Syafruddin berhasil mendeklarasi berdirinya Pemerintah
Darurat
Republik Indonesia ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 19
Desember 1948.
Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut.
a. Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai
ketua merangkap PerdanaMenteri, Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan.
b. Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua
merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, dan Menteri Agama.
c. Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri
Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan dan Pemuda.
d. Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri
Keuangan merangkap Menteri Kehakiman.
e. Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap
Menteri Kesehatan.
f. Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI.
g. Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar.
h. Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial
Jawa.
i. Kolonel Hidayat sebagai Panglima
Tentara Teritorial Sumatra.
PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara ternyata
berhasil memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan dan menegakkan
pemerintah RI.
7. Terus memimpin gerilya
Kalau para pemimpin pemerintahan seperti Presiden Sukarno,
wakil Presiden Moh. Hatta dan beberapa menteri ditangkap Belanda, Panglima Besar
Sudirman yang dalam kondisi sakit paru-paru justru memimpin perang gerilya. Ia
dan rombongan melakukan perjalanan dan pergerakan dari Yogyakarta menuju
Gunungkidul dengan melewati beberapa kecamatan, menuju Pracimantoro, Wonogiri,
Ponorogo, Trenggalek dan Kediri. Dalam gerakan gerilya dengan satu paru-paru
Sudirman kadang harus ditandu atau dipapah oleh pengawal masuk hutan, naik
gunung, turun jurang harus memimpin pasukan, memberikan motivasi dan komando
kepada TNI dan para pejuang untuk terus mempertahankan tegaknya panji-panji
NKRI. Dari Kediri lalu memutar kembali melewati Trenggalek, terus melakukan
perjalanan sampai akhirnya di Sobo. Di tempat ini telah dijadikan markas
gerilya
sampai saat Presiden dan wakil Presiden dengan beberapa menteri kembali ke
Yogyakarta.
Sungguh heroik perjalanan Sudirman. Ia telah menempuh
perjalanan
kurang
lebih 1000 km. Waktu gerilya mencapai enam bulan dengan penuh derita, lapar dan
dahaga. Sudirman tidak lagi memimikirkan harta, jiwa dan raganya semua
dikorbankan demi tegaknya kedaulatan bangsa dan Negara.
8. Peranan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk
Menunjukkan Eksistensi TNI
Pihak Belanda ternyata tidak mau segera menerima resolusi DK
PBB, tanggal
28
Januari 1949. Belanda masih mengakui bahwa RI sebenarnya tinggal nama. RI sudah
tidak ada, yang ada hanyalah para pengacau. Sementara itu, Sri Sultan
Hamengkubuwana IX lewat radio menangkap berita luar negeri tentang rencana DK
PBB yang akan mengadakan sidang lagi pada bulan Maret 1949, untuk membahas
perkembangan di Indonesia.
Sri Sultan berkirim surat kepada Jenderal Sudirman tentang
perlunya tindakan penyerangan terhadap Belanda. Sudirman minta agar Sri Sultan
membahasnya dengan komandan TNI setempat, yakni Letkol Soeharto. Segera
penyerangan terhadap Belanda di Yogyakarta dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949
dini hari.
Walaupun hanya sekitar enam jam pasukan Indonesia berhasil
menduduki
kota
Yogyakarta, namun serangan ini sangat berarti bagi bangsa Indonesia.
Selain
mengobarkan semangat rakyat kembali juga menunjukkan kepada
dunia
bahwa negara Indonesia masih mempunyai kekuatan. Pada waktu itu
di
Yogyakarta ada beberapa wartawan asing yang peranannya sangat besar dalam
menginformasikan keadaan Indonesia kepada dunia.
9. Belanda semakin terjepit dalam Persetujuan Roem-
Royen
Serangan Umum 1Maret 1949 yang dilancarkan oleh para pejuang
Indonesia, telah membuka mata dunia bahwa propaganda Belanda itu tidak benar.
RI dan TNI masih tetap ada. Namun Belanda tetap membandel dan tidak mau
melaksanakan resolusi DK PBB 28 Januari. Perundingan pun menjadi macet. Melihat
kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas dan terus mendesak agar Belanda
mau melaksanakan resolusi tanggal 28 Januari. Amerika Serikat berhasil mendesak
Belanda, untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia.
Merle Cochran, wakil dari AS di UNCI mendesak agar Indonesia
mau melanjutkan perundingan. Waktu itu Amerika Serikat menekan Indonesia, kalau
Indonesia menolak, Amerika tidak akan memberikan bantuan dalam bentuk apa pun.
Perundingan segera dilanjutkan pada tanggal 1 Mei 1949. Kemudian pada tanggal 7
Mei 1949 tercapai Persetujuan Roem-Royen. Isi Persetujuan Roem-Royen antara
lain sebagai berikut.
a. Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan
perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
RI juga akan Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, guna mempercepat
penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat (NIS), tanpa syarat.
b. Pihak Belanda menyetujui kembalinya RI
ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan
semua tahanan politik. Belanda juga berjanji tidak akan mendirikan dan mengakui
negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum Desember 1948, serta
menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.
Setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13
Juli 1949 diselenggarakan sidang Kabinet RI yang pertama. Pada kesempatan itu,
Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada wakil presiden Moh.
Hatta. Dalam sidang kabinet juga diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan
Hamengkobuwono IX menjadi Menteri Pertahanan merangkap Ketua Koordinator
Keamanan.
10. Peristiwa Yogya Kembali
Bagaimana setelah disetujuinya Perjanjian Roem Royen? Bagaimana
proses kembalinya RI dan nasib pasukan gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman?
Sebagai pelaksanaan dari kesepakatan itu, maka pada tanggal 29 Juni 1949,
pasukan Belanda ditarik mundur ke luar Yogyakarta. Setelah itu TNI masuk ke
Yogyakarta. Peristiwa keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI ke Yogyakarta
dikenal dengan Peristiwa Yogya Kembali. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Moh. Hatta ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.
Sejak awal 1949, ada tiga kelompok pimpinan RI yang ditunggu
untuk kembali
ke
Yogyakarta. kelompok pertama adalah Kelompok Bangka. Kedua adalah kelompok PDRI
dibawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara. Kelompok ketiga adalah angkatan
perang dibawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sultan Hamangkubuwono
IX bertindak sebagai wakil Republik Indonesia, karena Keraton Yogyakarta bebas
dari intervensi Belanda, maka mempermudah untuk mengatasi masalah-masalah yang
terkait dengan kembalinya Yogya ke Republik Indonesia. Kelompok Bangka yang
terdiri dari
Sukarno,
Hatta, dan rombongan kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949, kecuali
Mr. Roem yang harus menyelesaikan urusannya sebagai ketua delegasi di UNCI,
masih tetap tinggal di Jakarta.
11. Konferensi Inter Indonesia untuk Kebersamaan Bangsa
Belanda tidak berhasil membentuk negara-negara bagian dari
suatu negara federal. BFO. Namun di antara para pemimpin BFO banyak yang sadar
dan melakukan pendekatan untuk bersatu kembali dalam upaya pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS). Hal ini terutama didorong oleh sukses yang diperoleh
para pejuang dan TNI kita dalam perang gerilya. Mereka sadar hanya akan
dijadikan alat dan boneka bagi kekuasaan Belanda. Oleh karena itu perlu
dibentuk semacam front untuk menghadapi Belanda.
Pada bulan Juli dan Agustus 1949 diadakan konferensi
Inter-Indonesia. Dalam konferensi itu diperlihatkan bahwa politik devide et impera Belanda
untuk memisahkan daerah-daerah di luar wilayah RI mengalami kegagalan. Hasil
Konferensi Inter-Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta antara lain:
1. Negara Indonesia Serikat disetujui
dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan
federalisme.
2. RIS akan
dikepalai oleh seorang presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung
jawab kepada presiden.
3. RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari RI maupun
Belanda.
4. Angkatan Perang RIS adalah Angkatan
Perang Nasional, dan PresidenRIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
5. Pembentukan Angkatan Perang RIS adalah
semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri.
12. KMB dan Pengakuan Kedaulatan
Indonesia telah menetapkan delegasi yang mewakili KMB yakni
Moh. Hatta, Moh. Roem, Mr. Supomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamijoyo, Dr.
Sukiman, Ir. Juanda, Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Mr. Suyono Hadinoto, Mr. AK.
Pringgodigdo, TB. Simatupang, dan Mr. Sumardi. Sedangkan BFO diwakili oleh Sultan
Hamid II dari Pontianak.
KMB dibuka pada tanggal 23 Agustus 1949 di Den Haag. Delegasi
Belanda dipimpin oleh Mr. Van Maarseveen dan dari UNCI sebagai mediator adalah
Chritchley. Tujuan diadakan KMB adalah untuk :
1. menyelesaikan persengketaan antara Indonesia dan Belanda
2. untuk mencapai kesepakatan antara para
peserta tentang tata cara penyerahan yang penuh dan tanpa syarat kepada Negara
Indonesia Serikat, sesuai dengan ketentuan Persetuiuan Renville.
Beberapa masalah yang sulit dipecahkan dalam KMB terutama
sebagai berikut.
a. Soal Uni Indonesia-Belanda. Pihak
Indonesia menghendaki agar sifatnya hanya kerja sama yang bebas tanpa adanya
organisasi permanen. Sedangkan Belanda menghendaki kerja yang lebih luas dengan
organisasi permanen (mengikat).
b. Soal utang. Pihak Indonesia hanya
mengakui utang-utang Hindia Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang.
13. Pembentukan Republik Indonesia Serikat
Isi KMB diterima oleh KNIP melalui sidangnya pada tanggal 6
Desember 1949. Tanggal 14 Desember 1949 diadakan pertemuan di Jalan Pegangsaan
Timur No. 56 Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh wakil-wakil Pemerintah RI, pemerintah
negara-negara bagian, dan daerah untuk membahas Konstitusi RIS. Pertemuan ini
menyetujui naskah Undang-Undang Dasar yang akan menjadi Konstitusi RIS.
Dengan diangkatnya Sukarno sebagai Presiden RIS, maka presiden
RI menjadi kosong. Untuk itu, maka ketua KNIP, Mr. Asaat ditunjuk sebagai
pejabat Presiden RI. Tanggal 27 Desember 1949 Mr. Asaat dilantik sebagai
pemangku jabatan Presiden RI sekaligus dilakukan acara serah terima jabatan
dari Sukarno kepada Mr. Asaat. Langkah ini diambil untuk mempertahankan
kelangsungan negara RI. Apabila sewaktu-waktu RIS bubar, maka RI akan tetap
bertahan, karena memiliki kepala negara.
14. Penyerahan dan Pengakuan Kedaulatan
Pada tanggal 27 Desember 1949, terjadilah penyerahan kedaulatan
Belanda kepada Indonesia yang dilakukan di Belanda dan di Indonesia. Di Negeri
Belanda, delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Hatta sedangkan pihak Belanda
hadir Ratu Juliana, Perdana Menteri Willem Drees, dan Menteri Seberang Lautan
Sasseu bersama-sama menandatangani akte penyerahan kedaulatan di Ruang Tahta
Amsterdam. Di Indonesia dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil
Tinggi Mahkota Belanda A.H.S. Lovink.
Walaupun Belanda sendiri tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui tanggal 27 Desember
1949, namun keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu tetap terhitung
sejak Proklamasi Kemerdekaan oleh bangsa Indoensia. Pada saat itu bangsa
Indonesia tidak menghadapi Belanda, melainkan menghadapi Jepang, karena
sebelumnya Belanda sudah kalah dan menyerah pada Jepang. Oleh karena itu,
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia mutlak atas usaha bangsa Indonesia sendiri.
15. Kembali ke Negara Kesatuan
Setelah RIS menerima pengakuan kedaulatan, segera muncul rasa
tidak puas di kalangan rakyat terutama negara-negara bagian di luar RI.
Sejumlah 15 negara bagian/daerah yang merupakan ciptaan Belanda, terasa berbau
kolonial, sehingga belum merdeka sepenuhnya. Negara-negara bagian ciptaan
Belanda adalah sebagai berikut.
a. Negara Indonesia Timur (NIT) merupakan
negara bagian pertama ciptaan Belanda yang terbentuk pada tahun 1946.
b. Negara Sumatra Timur, terbentuk pada 25
Desember 1947 dan diresmikan pada tanggal 16 Februari 1948. Negara Sumatra
Selatan, terbentuk atas persetujuan Van Mook pada tanggal 30 Agustus 1948.
Daerahnya meliputi Palembang dan sekitarnya. Presidennya adalah Abdul Malik.
d. Negara Pasundan (Jawa Barat),.
e. Negara Jawa Timur, terbentuk pada
tanggal 26 November 1948 melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Belanda.
f. Negara Madura, terbentuk melalui suatu
plebesit dan disahkan oleh Van Mook pada tanggal 21 Januari 1948.
Perdana Menteri RIS, Moh. Hatta mengadakan pertemuan dengan
Sukawati (NIT) dan Mansur (Sumatra Timur). Mereka sepakat untuk membetuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sesuai dengan usul dari DPR Sumatra Timur,
proses pembentukan NKRI tidak melalui penggabungan dengan RI tetapi
penggabungan dengan RIS. Setelah itu diadakan konferensi yang dihadiri oleh
wakil-wakil RIS, termasuk dari Sumatra Timur dan NIT. Melalui konferensi itu
akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 tercapai persetujuan yang dituangkan dalam
Piagam Persetujuan. Isi pentingnya adalah :
1. Kesediaan bersama untuk membentuk
negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RI yang berdasarkan pada
Proklamasi 17 Agustus 1945.
2. Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan
memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945. Untuk ini diserahkan
kepada panitia bersama untuk menyusun Rencana UUD Negara Kesatuan.
C. Mengamalkan Nilai-nilai Kejuangan Masa Revolusi
1. Persatuan dan Kesatuan
Persatuan dan kesatuan adalah nilai yang sangat penting di
dalam setiap bentuk perjuangan. Semua organisasi atau kekuatan yang ada,
sekalipun dengan paham/ideologi atau organisasi yang berbeda, namun tetap
bersatu dalam menghadapi kaum penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Pada masa
pelucutan senjata terhadap Jepang, perang melawan Sekutu maupun Belanda, semua
anggota TNI, berbagai anggota kelaskaran dan rakyat bersatu padu.
2. Rela Berkorban dan Tanpa Pamrih
Nilai kejuangan bangsa yang sangat menonjol di masa perang
kemerdekaan
adalah
rela berkorban. Para pemimpin, rakyat, dan para pejuang pada umumnya
benar-benar rela berkorban tanpa pamrih. Mereka telah mempertaruhkan jiwa dan
raganya, mengorbankan waktu dan harta bendanya, demi perjuangan kemerdekaan.
Kita tidak dapat menghitung berapa para pejuang kita yang gugur di medan juang,
berapa orang yang
harus
menanggung cacat dan menderita, akibat perjuangannya. Juga berapa jumlah harta
benda yang dikorbankan demi tegaknya kemerdekaan, semua tidak dapat kita
perhitungkan.
3. Cinta pada Tanah Air
Rasa cinta pada tanah air merupakan faktor pendorong yang
sangat kuat bagi para pejuang kita untuk berjuang di medan laga. Timbullah
semangat patriotisme di kalangan para pejuang kita untuk melawan penjajah.
Sebagai perwujudan dari rasa cinta tanah air, cinta pada tumpah darahnya maka munculah
berbagai perlawanan di daerah untuk melawan kekuatan kaum penjajah. Di Sumatra,
di Jawa, Bali, Sulawesi dan tempat-tempat lain, muncul pergolakan dan
perlawanan menentang kekuatan asing, demi kemerdekaan tanah airnya.
4. Saling Pengertian dan Harga Menghargai
Di dalam perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan,
diperlukan saling pengertian dan sikap saling menghargai di antara para
pejuang. Sebagai contoh perbedaan pandangan antara pemuda (Syahrir dkk.) dengan
Bung Karno-Bung Hatta dari golongan tua, tetapi karena saling pengertian dan
saling menghargai, maka kesepakatan dapat tercapai. Teks proklamasi dapat
diselesaikan dan kemerdekaan dapat diproklamasikan, adalah bukti nyata sebuah
kekompakan dan saling pengertian di antara para tokoh nasional.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon